Senin, 14 September 2009

Sejauh apa peranan konstitusi baru terhadap UUD 1945

BAB I

A. Pendahuluan

Kata “Konstitusi” berarti “pembentukan”, berasal dari kata kerja yaitu “constituer” (Perancis) atau membentuk. Yang dibentuk adalah negara, dengan demikian konstitusi mengandung makna awal (permulaan) dari segala peraturan perundang-undangan tentang negara. Belanda menggunakan istilah “Grondwet” yaitu berarti suatu undang-undang yang menjadi dasar (grond) dari segala hukum. Indonesia menggunakan istilah Grondwet menjadi Undang-undang Dasar.

A. Konstitusi Tertulis dan Tidak Tertulis

Konstitusi memuat suatu aturan pokok (fundamental) mengenai sendi-sendi pertama untuk menegakkan suatu bangunan besar yang disebut negara. Sendi-sendi itu tentunya harus kokoh, kuat dan tidak mudah runtuh agar bangunan negara tetap tegak berdiri. Ada dua macam konstitusi di dunia, yaitu “Konstitusi Tertulis” (Written Constitution) dan “Konstitusi Tidak Tertulis” (Unwritten Constitution), ini diartikan seperti halnya “Hukum Tertulis” (geschreven Recht) yang trmuat dalam undang-undang dan “Hukum Tidak Tertulis” (ongeschreven recht) yang berdasar adat kebiasaan. Dalam karangan “Constitution of Nations”, Amos J. Peaslee menyatakan hampir semua negara di dunia mempunyai konstitusi tertulis, kecuali Inggris dan Kanada.

Di beberapa negara ada dokumen tetapi tidak disebut konstitusi walaupun sebenarnya materi muatannya tidak berbeda dengan apa yang di negara lain disebut konstitusi. Ivor Jenning dalam buku (The Law and The Constitution) menyatakan di negara-negara dengan konstitusi tertulis ada dokumen tertentu yang menentukan:

a. Adanya wewenang dan tata cara bekerja lembaga kenegaraan

b. Adanya ketentuan berbagai hak asasi dari warga negara yang diakui dan dilindungi

Di inggris baik lembaga-lembaga negara termaksud dalam huruf a maupun pada huruf b yang dilindungi, tetapi tidak termuat dalam suatu dokumen tertentu. Dokumen-dokumen tertulis hanya memuat beberapa lembaga-lembaga negara dan beberapa hak asasi yang dilindungi, satu dokumen dengan yang lain tidak sama. Karenanya dilakukan pilihan-pilihan di antara dokumen itu untuk dimuat dalam konstitusi. Pilihan di Inggris tidak ada. Penulis Inggris yang akhirnya memilih lembaga-lembaga mana dan hak asasi mana oleh mereka yang dianggap “constitutional.”

B. Tujuan Konstitusi

Hukum pada umumnya bertujuan mengadakan tata tertib untuk keselamatan masyarakat yang penuh dengan konflik antara berbagai kepentingan yang ada di tengah masyarakat. Tujuan hukum tata negara pada dasarnya sama dan karena sumber utama dari hukum tata negara adalah konstitusi atau Undang-Undang Dasar, akan lebih jelas dapat dikemukakan tujuan konstitusi itu sendiri.

Tujuan konstitusi adalah juga tata tertib terkait dengan: a). berbagai lembaga-lembaga negara dengan wewenang dan cara bekerjanya, b) hubungan antar lembaga negara, c) hubungan lembaga negara dengan warga negara (rakyat) dan d) adanya jaminan hak-hak asasi manusia serta e) hal-hal lain yang sifatnya mendasar sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.

Tolak ukur tepat atau tidaknya tujuan konstitusi itu dapat dicapai tidak terletak pada banyak atau sedikitnya jumlah pasal yang ada dalam konstitusi yang bersangkutan. Banyak praktek di banyak negara bahwa di luar konstitusi tertulis timbul berbagai lembaga-lembaga negara yang tidak kurang pentingnya dibanding yang tertera dalam konstitusi dan bahkan hak asasi manusia yang tidak atau kurang diatur dalam konstitusi justru mendapat perlindungan lebih baik dari yang telah termuat dalam konstitusi itu sendiri. Dengan demikian banyak negara yang memiliki konstitusi tertulis terdapat aturan-aturan di luar konstitusi yang sifat dan kekuatannya sama dengan pasal-pasal dalam konstitusi. Aturan-aturan di luar konstitusi seperti itu banyak termuat dalam undang-undang atau bersumber/berdasar pada adat kebiasaan setempat. Contoh yang tepat adalah Inggris dan Kanada, artinya tidak memiliki sama sekali konstitusi tertulis tetapi tidak dapat dikatakan tidak ada aturan yang sifat dan kekuatannya tidak berbeda dengan pasal-pasal dalam konstitusi. Inggris yang memelopori seluruh dunia dengan suatu dokumen yang terkenal yaitu “Magna Charta” yang merupakan dokumen kenegaraan yang memberi jaminan hak-hak asasi manusia. Pada saat itu raja atas desakan para bangsawan (Baron atau Lord yang berkuasa atas daerah-daerah dari kerajaan Inggris) untuk menandatangani Magna Charta tersebut. Sebenarnya dokumen ini dimaksudkan untuk menjamin hak-hak serta wewenang para bangsawan, tetapi kemudian oleh umum dipandang sebagai jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dari rakyat yang dalam perkembangan selanjutnya tidak dikenal lagi bangsawan-bangsawan sebagai penguasa melainkan hanya Sang Raja sebagai pemegang puncak kekuasaan pemerintahan. Magna Charta terdiri dari 63 pasal yang menentukan dalam garis besarnya (pasal 1) adanya jaminan kemerdekaan bekerjanya gereja Inggris dan kemerdekaan bergerak semua orang bebas (freeman) dalam kerajaan Inggris.

B. Latar Belakang Masalah

Transisi dari pemerintah otoriter menuju pemerintahan yang demokratis biasanya dilembagakan dalam suatu Konstitusi baru yang mencerminkan konteks kesejarahan, nilai-nilai serta cita-cita demokrasi yang ingin diwujudkan dalam negara demokratis yang baru. Konstitusi baru merupakan suatu kontrak sosial baru yang menjadi landasan bagi sistem ketatanegaraan, perlindungan hak-hak dasar warga negara, kebijakan ekonomi negara tersebut. Konstitusi baru merupakan kebutuhan yang esensial terutama pada masa transisi guna mengukuhkan konsolidasi demokrasi karena biasanya pada masa transisi, elemen-elemen otoriter masih tersisa dan berpeluang untuk kembali mendominasi kehidupan potitik.

Konsolidasi demokrasi juga memerlukan kesepakatan di antara elit politik mengenai aturan permainan baru dalam meraih kekuasaan serta pembatasan terhadap penggunaan kekuasaan. Ini merupakan titik-tolak yang fundamental untuk melembagakan demokrasi. Kalau mekanisme pembatasan kekuasaan ini sudah melembaga dan kredibel di mata masyarakat maka akan tumbuh kepentingan politik dari setiap kelompok politik untuk tetap mempertahankan batasan-batasan tersebut. Pada tahapan inilah, konsolidasi demokrasi dapat dikatakan mulai terbentuk. Perumusan Konstitusi Baru misalnya terjadi di negara-negara Eropa Timur yang mengalami transisi dan pemerintahan Komunis ke pemerintahan demokrasi liberal. Hal yang sama juga terjadi di Afrika Setatan yang mengalami transisi drastis dari sistem Apartheid yang melingkupi segala aspek kehidupan ke sebuah sistem adil ras. Demikian pula di negara-negara tetangga kita di Filipina setelah jatuhnya rezim Marcos dan di Thailand setelah berakhirnya dominasi militer setelah insiden Mei Hitam tahun 1992. Biasanya sebuah Konstitusi secara konvensional memuat sistem ketatanegaraan, pertindungan HAM bagi warga negara, sistem perekonomian, sistem peradilan dan mekanisme perubahan Konstitusi. Namun Konstitusi Baru yang dibuat sejak terjadinya arus "Third Wave Democracy”pada dekade 80an dan 90an, memiliki elemen demokrasi partisipatoris. Elemen ini dianggap menjadi ciri khas penting dari negara yang baru mengalami masa transisi ini karena dianggap dapat mengontrol para politisi seperti anggota parlemen dan pejabat pemerintahan agar tidak menyalahgunakan kekuasaannya. Elemen demokrasi partisipatoris misalnya ialah peluang agar rakyat secara langsung melalui mekanisme referendum dapat meloloskan suatu UU atau memecat pejabat pemerintah apabila parlemen maupun pemerintah tidak bergerak. Demokrasi partisipatoris menjadi populer karena rakyat sudah muak dengan perilaku wakil rakyat atau pejabat pemerintah yang cenderung "lupa diri" setelah duduk di kursi pemerintahan atau parlemen. Di negara-negara yang masih mengalami transisi dari sistim otoriterisme ke demokrasi, maka prioritas utama yang seharusnya diintegrasikan dalam UUD baru adalah terbukanya ruang politik (political space) bagi kelompok-kelompok baru yang selama masa otoriterisme termarjinalisasi dalam proses politik. Ruang politik ini akan membuka peluang bagi terjadinya sirkulasi elit politik yang diperlukan agar proses politik pasca otoriterisme tidak kembali didominasi oleh elit-elit status quoyang dapat mengembalikan sistim otoriterisme. Kondisi yang sama berlangsung pula di Indonesia.

Reformasi Konstitusi di Indonesia telah dilakukan sejak tahun 1999 hingga 2002 melalui Amandemen Pertama hingga Keempat. Namun hingga saat ini, Amandemen UUD 1945 dinilai sangat lemah baik secara substansi maupun proses karena tidak adanya paradigma yang jelas. Pembahasannya bersifat sepotong-sepotong dengan hanya memperhatikan kepentingan politik jangka pendek saat pembahasan dilakukan

C. Rumusan Masalah

Seperti yang telah dijelaskan dalam latar belakang masalah diatas, dapat ditarik sebuah masalah yaitu, “Sejauh apa peranan konstitusi baru terhadap UUD 1945 ”

BAB II

PEMBAHASAN

Reformasi konstitusi di Indonesia telah dilakukan sejak tahun 1999 hingga 2002 melalui Amandemen Pertama hingga Keempat. Namun hingga saat ini, Amandemen UUD 1945 dinilai sangat lemah baik secara substansi maupun proses karena tidak adanya paradigma yang jelas. Pembahasannya bersifat sepotong-sepotong dengan hanya memperhatikan kepentingan politik jangka pendek saat pembahasan dilakukan. Tanpa adanya paradigma yang jelas maka tujuan perubahan konstitusi untuk memberikan kejelasan pengaturan pun tidak akan tercapai. Bentuk perubahan yang terjadi juga hanya bersifat “tambal sulam” dan sangat tergantung pada siapa yang “berkuasa” saat itu. Namun, satu alasan yang paling mendasar mengapa amandemen ini dinilai lemah adalah karena kurangnya partisipasi masyarakat dalam prosesnya. Konstitusi merupakan kontrak sosial antara masyarakat dengan negara dan masyarakat merupakan pihak yang terikat dalam kontrak sosial tersebut. Oleh karena itu masyarakat merupakan subyek harus dilibatkan dalam proses penyusunannya.

I. Proses Amandemen UUD 1945

Secara umum, terdapat kekhawatiran proses dan hasil amandemen karena beberapa kelemahan yang terjadi pada proses amandemen yang telah dilakukan oleh MPR RI sejak tahun 1999:

A. Keterbatasan waktu yang dimiliki oleh anggota MPR, terutama anggota Badan Pekerja yang diserahi tugas mempersiapkan materi amandemen UUD 1945. Sebagian besar anggota PAH I BP MPR juga merangkap jabatan sebagai anggota DPR RI, sehingga mereka mempunyai beban pekerjaan yang cukup banyak. Terlebih lagi, sebagai wakil parpol di DPR, anggota-anggota ini diharuskan untuk ikut berbagai rapat/pertemuan yang diadakan oleh DPR atau partainya sehingga waktu dan tenaga yang tersedia untuk dapat mengolah materi amandemen UUD 1945 secara serius semakin berkurang. Konsultasi publik pun akhirnya tidak dapat dilakukan secara efektif, menyeluruh dan mendasar. Akibatnya, kualitas materi perubahan konstitusi yang dihasilkan sangat tidak memuaskan.

B. Pengambilan keputusan final mengenai amandemen dilakukan oleh sekelompok kecil elit fraksi dalam rapat Tim Lobby dan Tim Perumus. Salah satu akibat yang krusial adalah keputusan yang diambil berupa kompromi politik yang dapat dipengaruhi dan mencerminkan kepentingan-kepentingan politik jangka pendek. Apalagi, proses yang dilakukan oleh Tim lobby dan perumus itu tidak dicatat dalam suatu risalah rapat. Padahal konstitusi adalah suatu Kontrak Sosial antara rakyat dan negara sehingga harus mencerminkan konsensus dan kepentingan bersama sebagian besar dari seluruh masyarakat untuk suatu kepentingan mendasar dan berjangka panjang. Oleh karena itu, proses perubahan konstitusi seharusnya melibatkan sebanyak mungkin partisipasi publik.

C. Penyerapan dan sosialisasi (uji sahih) yang dilakukan oleh PAH I BP MPR tidak memberikan ruang dan waktu yang cukup bagi publik untuk dapat berpartisipasi dalam memahami dan mengusulkan apa yang menjadi kepentingannya. Proses amandemen ini juga tidak dilakukan secara intensif dan luas kepada seluruh lapisan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia. Ini terbukti dengan adanya fakta bahwa banyak lapisan masyarakat yang tidak mengetahui adanya amandemen terhadap UUD 1945 Berdasarkan pengamatan secara langsung dalam proses sosialisasi publik yang dilakukan PAH I BP MPR RI di beberapa kota di Indonesia atas amandemen kesatu hingga keempat, tampak sekali keterlibatan publik dalam acara-acara ini masih sangat terbatas pada kalangan akademik dan pemerintah lokal saja. Partisipasi media massa tidak dilakukan secara maksimal. Akibatnya proses penyerapan aspirasi, uji sahih dan sinkronisasi hanya menjadi ajang legitimasi bagi usulan amandemen yang dilakukan oleh PAH I BP MPR RI

D. Sekalipun dalam mempersiapkan materi perubahan yang akan diputuskan MPR melalui Badan Pekerjanya, melibatkan partisipasi publik baik kalangan profesi, ornop, perguruan tinggi, termasuk para pakar/ahli, namun partisipasi tersebut cenderung bersifat semu saja, karena pada akhirnya keputusan terakhir berada di tangan MPR sendiri. Rakyat tidak mempunyai hak untuk mempertanyakan dan turut menentukan apa yang diinginkan untuk diatur dalam konstitusinya. Hanya MPR saja yang berhak menentukan materi apa yang perlu dirumuskan atau apa yang boleh dan tidak boleh dirubah.

E. MPR dalam membahas dan memutuskan perubahan UUD 1945 tidak membuat dan memiliki content draft konstitusi secara utuh sebagai langkah awal yang menjadi dasar perubahan (preliminary) yang dapat ditawarkan kepada publik untuk dibahas dan diperdebatkan. Content draft yang didasari paradigma yang jelas yang menjadi kerangka dasar tentang eksposisi ide-ide kenegaraan yang luas dan mendalam mengenai hubungan negara dengan warga negara, negara dengan agama, negara dengan negara hukum, negara dalam pluralitasnya serta negara dengan sejarahnya. MPR juga tidak memuat eksposisi yang mendalam tentang esensi demokrasi, apa syarat-syaratnya dan prinsip-prinsipnya serta dan bagaimana checks and balancesnya dilakukan secara baik. MPR lebih menekankan perubahan yang bersifat amandemen dan dilakukan dengan memakai kerangka yang sudah ada dalam UUD 1945. Cara semacam ini membuat perubahan itu menjadi parsial, sepotong-potong dan tambal sulam saja sifatnya. MPR tidak berani keluar dari kerangka dan sistem nilai UUD 1945 yang sebagian besar relevansinya sudah tidak layak lagi dipertahankan.

F. Proses amandemen secara parsial seperti di atas tidak dapat memberikan kejelasan terhadap konstruksi nilai dan bangunan kenegaraan yang hendak dibentuk sehingga terlihat adanya paradoks dan inkonsistensi terhadap hasil-hasilnya yang telah diputuskan. Hal ini bisa dilihat dari pasal-pasal yang secara redaksional maupun sistematikanya yang tidak konsisten satu sama lain. Seperti misalnya, sistem pemerintahan ditetapkan dengan menganut prinsip sistem residensiil, namun dalam elaborasi pasal-pasalnya menunjukkan sistem parlementer yang justru memperkuat posisi dan kewenangan MPR/DPR.

II. Kritik Atas Substansi Materi Amandemen UUD 1945

A. Sistem Pemerintahan

1. Tidak ada kejelasan mengenai sistem pemerintahan yang dianut oleh UUD 1945 meskipun telah empat kali amandemen. Kesepakatan awal pada tahun 1999 yang menetapkan bahwa UUD 1945 tetap menganut sistem Presidensil ternyata belum dilaksanakan secara konsisten. Beberapa hal yang menunjukkan bahwa Sistem Presidensil tidak diterapkan secara konsisten adalah:

MPR masih memiliki kewenangan-kewenangan yang meletakkannya sebagai suatu lembaga “supra”, bahkan di atas Konstitusi, karena masih berwenang melakukan perubahan terhadap UUD 1945, menentukan keputusan impeachment terhadap Presiden meskipun sudah ada rekomendasi dari Mahkamah Konstitusi dan wewenang untuk melakukan Judicial Review.

Sifat supra dari MPR menunjukkan bahwa ada karakteristik sistem Parlementer yang masih kuat dalam sistem pemerintahan sehingga terjadi kerancuan dalam bernegara karena di satu pihak Presiden melaksanakan sistem Presidensil sedangkan DPR/MPR seringkali menginterpretasikan kinerjanya berdasarkan sistem Parlementer.

2. Tidak terjadi sistem checks and balances atau akuntabilitas horizontal yang jelas antara ketiga lembaga tinggi negara. Sebagian substansi perubahan konstitusi menjadi penopang utama terwujudnya legislative heavy. Hal ini dapat dilihat dari: dilemahkan dan tidak signifikannya peran dari DPD di hadapan DPR dalam menjalankan fungsi legislasi, rekruitmen sebagian anggota Mahkamah Konstitusi berada di tangan DPR, sebagian kewenangan eksekutif “diambilalih” oleh DPR (seperti: penentuan Duta Besar, Kepala Staf Angkatan dan Polri), DPR mempunyai kewenangan politik untuk memutuskan kasus dugaan kejahatan berat HAM masa lalu dan hasil pemeriksaan BPK hanya diserahkan kepada DPR saja.

3. Sistem bikameralisme yang digariskan dalam amandemen ketiga UUD 1945 masih bukan bikameralisme murni yang menjamin adanya keseimbangan atau checks and balances antara kedua kamar di Parlemen. Wewenang DPD masih lebih lemah dibandingkan wewenang DPR karena hanya memiliki hak legislasi dan pembahasan dalam hal-hal yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan pertimbangan keuangan pusat dan daerah. Untuk mempertahankan akuntabilitas horizontal dan menjamin keterwakilan suara daerah, maka seharusnya DPD diberi kewenangan yang sejajar dengan DPR sehingga wakil daerahpun dapat memberikan suaranya mengenai persoalan-persoalan nasional. Dengan demikian parlemen atau MPR hanya merupakan suatu joint sessionyang terdiri dari DPR dan DPD yang hanya dapat menghasilkan legislasi atau keputusan secara bersama.

4. Peluang penerapan participatory democracy juga terbatas dengan tertutupnya kemungkinan kandidat independen untuk mencalonkan diri menjadi Presiden/Wapres dan calon anggota DPR/DPRD Provinsi/DPRD Kabupaten. Akibatnya UUD sangat mengukuhkan dominasi parpol sebagai pemain utama yang menentukan proses politik, sedangkan di negara-negara demokrasi lainnya, individu juga dibolehkan untuk berpartisipasi sebagai aktor politik yang diakui oleh UUD. Tanpa kemungkinan ini maka tidak akan ada breakthrough politik yang akan memungkinkan konsolidasi demokrasi. Ruang politik hanya akan terbatas pada aktor parpol, terutama parpol besar dan sirkulasi elit politik akan terhambat. Dalam situasi seperti ini konsolidasi demokrasi akan sulit tercapai.

B.Kekuasaan Kehakiman

Amendemen ketiga mengenai Bab Kekuasaan Kehakiman memuat sekitar 4 pasal dan 17 ayat perubahan. Di satu sisi, keseluruhan pasal dan ayat perubahan itu mungkin bisa menjadi indikasi, adanya upaya untuk melakukan perbaikan atas Bab Kekuasaan Kehakiman yang diatur di dalam UUD 45. Meskipun upaya ini tampaknya sangat minimal karena Bab tersebut hanya memuat 1 pasal dan 2 ayat saja. Beberapa hal yang perlu dikritisi dalam Bab Kekuasaan Kehakiman adalah:

1. Prinsip-prinsip penting dari sebuah kekuasaan kehakiman di dalam amandemen ketiga tidak disebut secara komprehensif, karena kekuasaan kehakiman tidak hanya berupa kekuasaan penyelenggara peradilan yang merdeka guna menegakan hukum dan keadilan saja. Kekuasaan Kehakiman mestinya memuat prinsip-prinsip dasar seperti: parsialitas atau tidak memihak, non diskriminatif, sederhana, cepat dan biaya ringan. Begitupun dengan prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi di dalam mewujudkan kekuasaan kehakiman yang baik. Prinsip-prinsip di atas tidak disebutkan secara rinci di dalam usulan materi rancangan perubahan pada Bab Penegakan Hukum [lihat Tap MPR No. XI/MPR/2001]. Padahal, penyebutan prinsip ini akan menjadi dasar bagi kebijakan legislasi pada seluruh ketentuan perundangan yang mengatur soal kekuasaan kehakiman dan penegakan hukum.

2. Amandemen kekuasaan kehakiman juga tidak merumuskan siapa yang akan menggunakan kekuasaan tersebut (user), seberapa luas cakupan yurisdiksinya dan bagaimana kekuasaan itu dilakukan. Misalnya saja, apakah seorang warga negara bisa menggugat pemerintah karena melanggar nilai dan prinsip hak asasi yang disebutkan di dalam konstitusi, siapakah yang mempunyai kewenangan melakukan judicial reviewatas undang-undang, apakah bisa diajukan gugatan atas putusan badan peradilan yang bertentangan dengan ketentuan di dalam konstitusi.

3. Kesemua prinsip-prinsip di dalam butir kedua dan ketiga diatas harus dijamin aktualisasinya dan jaminan itu mesti dinyatakan secara tegas di dalam konstitusi, karena prinsip inilah yang akan menjadi pilar penting bagi perwujudan supremasi hukum. Cakupan yurisdiksi dan mekanisme pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang menjadi prosedur dan instrumen untuk memastikan pelaksanaan kekuasaan kehakiman juga harus dinyatakan secara eksplisit di dalam konstitusi.

4. Amandemen telah menyebutkan penyelenggara kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya di dalam lingkungan peradilan umum, militer, agama, tata usaha negata serta Mahkamah Konstitusi. Tetapi, amendemen itu tidak mengatur secara jelas berbagai peradilan lain yang telah ada seperti: pengadilan niaga, pengadilan ad hoc HAM, pengadilan pajak, pengadilan syar’iyah [lihat UU Nanggroe Aceh Darusalam] dan pengadilan adat [lihat UU Otomi Khusus Papua]. Pertanyaannya, apakah berbagai peradilan itu akan dimasukan ke dalam salah satu lingkungan peradilan saja atau dikualifikasi sebagai suatu peradilan khusus? Konstitusi tidak secara tegas mengatur hal-hal tersebut.

5. Amendemen juga tidak mengatur dan memberi tempat pada gagasan-gagasan yang menghendaki adanya pengadilan khusus atau tertentu seperti: pengadilan korupsi, pengadilan lingkungan, pertanahan dan perburuhan. Bukan tidak mungkin akan ada suatu dinamika sosial yang menghendaki dibentuknya berbagai peradilan tersebut. Sementara itu, ketentuan yang mengatur mekanisme pembentukan suatu peradilan tidak disebutkan secara tegas di dalam amendemen, padahal mekanisme itu menjadi penting guna menguji dan menapis berbagai gagasan dan tuntutan yang menghendaki dibentuknya suatu peradilan tertentu untuk mengatasi masalah tertentu atau mengakomodasi dinamika perkembangan kebutuhan.

7. Amendemen tidak konsisten dan tidak disiplin di dalam merumuskan prinsip, fungsi, tugas pokok dan wewenang dari berbagai lembaga yang berada di dalam Bab Kekuasaan Kehakiman dan usulan materi perubahan pada Bab Penegakan Hukum [TAP MPR No. XI/MPR/2001]. Pengaturan mengenai Mahkamah Agung dimulai dengan menyebutkan wewenang tanpa didahului dengan fungsi dan tugas pokoknya, padahal kewenangan suatu lembaga sangat ditentukan oleh fungsi dan tugas pokok lembaga itu. Sementara di dalam pasal yang mengatur Komisi Judisial diawali dengan menyebutkan sifat lembaga baru kemudian kewenangannya.

8. Amendemen tidak konsisten dan disiplin di dalam merumuskan sistematika pasal-pasal yang berkaitan dengan pengaturan kriteria, proses rekruitmen dan pemberhentian dari Hakim Agung, Hakim Konstitusi dan Anggota Komisi Judisial. Kriteria mengenai Hakim Agung dan Komisi Judisial diatur setelah pasal yang menyebutkan soal kewenangan dari lembaga MA dan Komisi Judisial. Tetapi, Mahkamah Komisi lebih dulu menyebutkan jumlah hakim konstitusi ketimbang kriteria dari hakim konstitusi. Di dalam Mahkamah Konstitusi jumlah dari hakim disebutkan secara tegas, yaitu sebanyak 9 [sembilan] orang, bahkan juga dikemukakan dari mana usulan calon diajukan. Tetapi, jumlah hakim agung dan anggota Komisi Judisial tidak disebutkan secara tegas. Calon Hakim Agung perlu mendapatkan “persetujuan DPR lebih dulu sebelum ditetapkan oleh Presiden”, sedangkan anggota Komisi Judisial “diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan DPR”, sementara pengangkatan dan pemberhentian Hakim Konstitusi diatur dengan undang-undang”. Lalu, kenapa pengangkatan dan pemberhentian harus disebut secara tegas dalam konstitusi, padahal sebagian lainnya hanya diatur di dalam undang-undang. Apalagi, bila dilacak lebih teliti, tidak ada ketentuan yang mengatur soal pemberhentian Hakim Agung di dalam konstitusi, padahal pengaturan mengenai pemberhentian disebutkan secara tegas pada lembaga Komisi Judisial dan Mahkamah Konsitusi [kendati harus diatur di dalam UU].

9. Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, namun tidak dirumuskan lebih jauh apa tindakan hukum yang harus dilakukan setelah Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang itu. Apakah peraturan perundangan itu dinyatakan tidak sah atau dinyatakan tidak berlaku atau ditegaskan tidak mempunyai kekuatan hukum atau menyatakan peraturan itu dicabut atau disebutkan dibatalkan. Juga tidak diirumuskan secara baik, bagaimana proses pelaksanaan keputusan itu dilakukan, apakah perlu dimasukan di dalam Lembaran Negara dan bagaiamana bila ada pihak yang tidak mau amar putusan dari Mahkamah Konstitusi. Jadi tidak ada ketentuan yang mengatur masalah akibat-akibat dan bentuk atau format keputusan dari Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan kewenangannya menguji undang-undang terhadap Undang-Undang dasar. Kekaburan di atas memberikan peluang bagi DPR untuk membatasi wewenang MK dalam melakukan uji UU terhadap UUD dalam UU Mahkamah Konstitusi dengan hanya membatasi wewenang ini hanya untuk UU yang dihasilkan setelah MK dibuat. Jadi peluang untuk melakukan uji terhadap UU yang dibuat sebelum MK terbentuk sepenuhnya tertutup. Padahal begitu banyak produk UU yang bermasalah yang perlu diuji karena secara prinsip bertentangan dengan UUD hasil amandemen.

C. Hak Asasi Manusia

Amandemen kedua yang memuat mengenai Bab Hak Asasi Manusia merupakan salah satu perubahan yang paling signifikan. Di dalam bab XA Hak Asasi Manusia ini terdapat sebanyak 10 pasal 24 ayat yang mengatur prinsip-prinsip penting tentang nilai dan prinsip kemanusian. Di satu sisi, mungkin, sulit untuk menyangkal bahwa perumusan begitu banyak merupakan indikasi adanya komitmen di sebagian anggota majelis untuk mempromosikan dan menjamin pelaksanaan penegakan hak asasi. Namun demikian, ada beberapa masalah yang perlu diajukan, karena masalah tersebut potensial mengingkari pelaksanaan penegakan hak asasi secara konsisten dan menempatkan pasal-pasal hak asasi di dalam Bab X tentang Hak Asasi Manusia hanya menjadi sebuah prinsip yang tidak mempunyai daya enforcement. Selain itu, juga ada indikasi ketidakdisiplinan di dalam merujuk prinsip penting di dalam konvensi hak asasi yang berlaku secara universal. Adapun beberapa masalah tersebut aalah sebagai berikut :

1. Amendemen kedua konstitusi tidak menyebutkan secara tegas mengenai visi dan misi negara mengenai hak asasi manusia. Karena itu, perlu dirumuskan fungsi dan peran negara di dalam memastikan dan menjamin hak asasi manusia agar dilakukan secara konsisten oleh kekuasaan. Diperlukan jaminan yang lebih pasti atau decisive dari sekedar “perlindungan, pemajuan dan penegakan dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara…” [pasal 28 I ayat 4]. Selain juga harus disebutkan bagaimana bentuk dari tanggung jawab negara dan bagaimana mekanisme untuk mewujudkan tanggung jawab itu. Jaminan menjadi penting karena kekuasaan atau negara memiliki potensi untuk melakukan pelanggaran terhadap nilai dan prinsip hak asasi manusia. Selain itu jaminan juga diperlukan agar pasal-pasal hak asasi itu tidak hanya menjadi “pasal pemanis” di dalam konstitusi namun tidak dapat dilaksanakan. Dengan demikian, promosi, perlindungan dan penegakan hak asasi untuk warga negara dapat dilaksanakan secara konkrit.

2. Amandemen tidak menyebutkan secara tegas bahwa nilai dan prinsip hak asasi di dalam konstitusi harus dijadikan dasar rujukan bagi pembuatan berbagai perundangan lain di bawah konstitusi. Selain itu amendemen tidak memuat dan mengatur instrumen kelembagaan yang mampu menjamin dan mempunyai tugas pokok agar nilai dan prinsip hak asasi bisa diaktualisasikan lebih kongkrit. Itu sebabnya, lembaga seperti Komisi Hak Asasi Manusia dan/atau Gender Equality Commission mesti diatur di dalam konsitusi untuk menjamin agar langkah konkrit dapat terlaksana.

3. Amandemen tidak sepenuhnya konsisten merujuk pada prinsip universalitas hak asasi, karena sebagian pasal masih memuat nilai yang mempunyai indikasi partikularistik. Misalnya saja : pasal 28 I ayat 3 yang mengatur “identitas budaya dan hak masyarakat tradisional…” masih diatur secara partikularistik. Begitupun pasal yang secara limitatif mengatur soal yang berkaitan dengan gender equality yang secara universal perlu di dimasukan di dalam prinsip hak asasi tidak dimasukan di dalam amandemen. Ada kesan kuat, pasal-pasal di dalam amandemen diambilalih dari TAP MPR No. XVII/MPR/1998 dan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, karena ada sekitar 26 butir ayat yang begitu mirip diantara ketiga peraturan itu. Implikasi lebih jauhnya adalah terjadi ketidakkonsistenan di dalam erumuskan pasal di dalam konstitusi, beberapa pasal yang seharusnya hanya dimuat di dalam perundangan juga turut diambil alih dan dimasukan di dalam konstitusi. Itulah yang terjadi di dalam pasal yang mengakomodasi prinsip non-retroaktif. Selain itu, amandemen juga tidak disiplin dan konsisten di dalam merumuskan kategorisasi prinsip hak asasi, apakah membaginya menurut katagori hak sipil politik dan hak ekonomi, sosial dan budaya, ataukah mendefinisikannya dengan menggunakan pembagian atas derogable rights dan non-derogable rights, ataukan merumuskannya dengan cara memuat hak individual, hak komunal dan vulnerable rights

4. Amandemen juga tidak mengatur problem kongkrit mengenai bagaimana negara melindungi, memajukan, menegakan hak asasi di dalam periode transisi. Karena dapat dipastikan, negara tidak akan mungkin mampu menjamin sepenuhnya pelaksanaan hak asasi yang berkaitan dengan hak ekonomi, budaya dan sosial, seperti: hak atas kesehatan yang paripurna, fasilitas perumahan yang baik, di dalam situasi dimana negara begitu miskin.

D. Bidang Pertahanan dan Keamanan.

Amandemen kedua mengenai Pertahanan dan Keamanan memuat lebih banyak ayat dibandingkan ayat-ayat pada konstitusi terdahulu serta mengatur berbagai hal baru yang sebelumnya tidak pernah diatur. Namun, ada cukup banyak catatan yang perlu diajukan, yaitu:

1. TNI juga harus disebut secara tegas sebagai instrumen negara di bidang pertahanan dengan tugas pokoknya sebagai alat negara yang tunduk pada otoritas pemerintah sipil dalam melaksanakan tugasnya. Segala pelaksanakan tugas dan penggunaan kewenangannya tidak boleh didasarkan atas keinginan pihak militer semata dan segala tindakannya tidak boleh melanggar dan mengingkari semua nilai dan prinsip hak asasi manusia.

2. Profesionalisme TNI harus dinyatakan secara tegas dalam konstitusi bahwa militer Indonesia adalah militer yang profesional. Dengan demikian segala istilah-istilah seperti pejuang dan prajurit serta konsep dwifungsi ABRI yang tidak lagi sesuai dengan konsep profesionalisme TNI harus ditiadakan.

3. Penggunaan force deploymentoleh kekuasaan untuk sesuatu yang bersifat darurat harus segera dipertanggung jawabkan dalam waktu sesingkat-singkatnya [1x24 jam] kepada parlemen. Untuk itu, parlemen diberi wewenang untuk meminta pertanggungjawaban dan menghentikan menggunaan kekuatan militer itu.

4. Sebelum memberikan wewenang bagi militer untuk melaksanakan tindakan yang melibatkan force deployment pemerintah harus memberikan prioritas pertama pada kebijakan yang tidak bersifat forces. Prinsip-prinsip yang mengatur mengenai proses, tata urutan dan mekanisme penggunaan harus dikemukakan. Misalnya saja, prinsip yang mengatur diplomasi sebagai first line of defence.

5. Upaya pertahanan dan keamanan harus menempatkan ilmu pengetahuan, informasi dan intelejen sebegai kekuatan pendukung. Karena itu, sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta yang mempunyai konotasi sebagai suatu sistem pertahanan yang mempunyai perspektif sebagai matra darat semata harus dihapuskan. Sistem pertahanan dan keamanan harus mengedepankan gagasan yang sesuai dengan kemajuan perkembangan, misalnya gagasan yang ingin mengedepankan onsep Komando Wilayah Pertahanan yang tidak hanya berperspektif matra darat saja.

6. Negara mempunyai kewajiban untuk membiayai seluruh program yang berkaitan dengan sistem pertahanan dan keamanan dan tidak memperbolehkan militer untuk mencari dan menggunakan dana di luar pembiayaan yang secara resmi dilakukan oleh negara. Kewajiban ini harus disebutkan secara limitatif di dalam konstitusi.

E. Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial

Usulan amandemen yang tercantum dalam TAP XI/MPR/2001 mengenai Perekonomian Nasional dan kesejahteraan sosial masih harus dipertegas dengan menekankan prinsip keberpihakan pada epentingan rakyat, terutama kelompok masyarakat yang terpinggirkan atau termarjinalisasi. Sistem ekonomi juga tidak terlalu berpihak pada sistem pasar yang cenderung mengorbankan kepentingan rakyat dan kelestarian lingkungan hidup.

1. Karena itu diusulkan, sistem perekonomian disusun dan dikembangkan berdasarkan asas dan bangun usaha koperasi dimana dalam pelaksanaannya mengutamakan keadilan sosial dan keberpihakan kepada rakyat banyak serta lingkungan hidup.

2. Cabang-cabang produksi dan distribusi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh rakyat dan diatur oleh Negara berdasarkan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan perlindungan lingkungan hidup;

3. Bumi, air dan dirgantara serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh rakyat dan diatur oleh negara untuk dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, kelestarian lingkungan dan perdamaian. Sementara itu, hak menguasai oleh rakyat dapat diambil oleh negara untuk kepentingan perlindungan daya dukung lingkungan hidup dan fungsi ekosistem, pencegahan konflik sosial dan kepentingan umum lainnya melalui proses yang adil dan benar (due and just process)

4. Perekonomian nasional senantiasa menjaga dan meningkatkan fungsi ekosistem dan daya dukung lingkungan hidup, memperhatikan dan menghargai hak-hak masyarakat adat, serta menjamin keadilan rakyat antar daerah

5. Negara mesti mengembangkan suatu sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang imarginal dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan didasari rinsip-prinsip pemandirian. Karena itu, negara harus bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas elayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum lainnya yang layak.

Konstitusi baru adalah konstitusi yang mengandung prinsip dan nilai dasar baru yang sesuai dengan perkembangan dan kehendak masyarakat sekarang, yang dibuat dan ditentukan bersama seluruh rakyat. Beberapa alasan mengapa harus dibuat konstitusi yang baru adalah sebagai berikut;

1. UUD 1945 merupakan UUD sementara

UUD 1945 sesungguhnya dimaksudkan sementara, sebagaimana dinyatakan oleh alm. Presiden Soekarno dalam Sidang BPUPKI/PPKI “…tuan-tuan semuanya tentu mengerti bahwa undang-undang dasar yang kita buat sekarang ini adalah undang-undang dasar sementara. Kalau boleh saya memakai kata undang-undang dasar kilat. Nanti kalau kita telah bernegara dalam suasana yang lebih tentram, kita membuat undang-undang dasar yang lebih lengkap dan sempurna…” Sifat kesementaraan ini kemudian diikuti dengan kesadaran dari para pendiri negara dan masyarakat saat itu untuk membuat sebuah UUD yang lebih rinci dan jelas untuk menggantikan UUD 1945. Lahirlah kemudian UUD RIS 1949, UUDS 1950 dan terakhir melalui Badan Konstituante yang dipilih langsung oleh rakyat.

Kenyataan itu telah menunjukkan bahwa adanya UUD selain UUD 1945 merupakan sebuah penolakan terhadap kesementaraan UUD 1945, untuk kemudian diganti dengan undang-undang dasar atau konstitusi baru yang lebih lengkap. Sekalipun kemudian kekuatan politik yang berkuasa (orde lama dan orde baru) lebih menghendaki penggunaan UUD 1945, bahkan mensakralkannya. Sifat kesementaraan itu masih berlanjut hingga kini, dikarenakan belum pernah sekalipun ditetapkan secara definitif pemberlakuannya oleh suatu badan yang berwenang untuk itu. Karena itulah kesementaraan ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, harus segera diakhiri dengan membuat dan menetapkan konstitusi baru yang akan memberikan kepastian hukum bagi adanya sebuah sistem bernegara yang lebih baik.

2. Isi UUD 1945 memiliki banyak kelemahan

Oleh karena dimaksudkan sementara, maka isi yang terkandung dalam UUD 1945 teramat singkat dan multiinterpretable, hanya terdiri dari 37 pasal. Hal ini lah yang menjadi titik lemah UUD 1945. Didalamnya dapat dikatakan tidak memuat secara lengkap soal hak asasi manusia, pemisahan dan pembatasan kekuasaan yang jelas dan tegas disertai mekanisme kontrol (check and balances) antar lembaga-lembaga negara, dan perwujudan sebagai negara hukum sebagaimana hakikatnya sebuah konstitusi. Kontruksi nilai yang dibangun dalam UUD 1945 ini juga bersifat state oriented yang membuka peluang bagi lahirnya sistem politik yang otoriter, monolitik dan sentralistik. Hal ini dapat dilihat dari sistematikanya yang lebih dahulu membicarakan soal negara/institusi negara daripada soal HAM, pengaturan sistem pemerintahan yang memberi kekuasaan begitu besar kepada presiden (executive heavy) dengan mereduksi prinsip kedaulatan rakyat kepada sebuah lembaga yang bernama MPR. Format semacam ini jelas meniadakan kontrol dan peran rakyat terhadap penyelenggaraan kehidupan bernegara.

Terbukti kemudian, realitas empirik kekuasaan orde lama dan orde baru yang menggunakan UUD 1945 sebagai dasar kekuasaannya adalah penguasa yang otoriter, korup, represif dan menindas rakyat. Penguasa kedua rezim itu, bukan saja terus menerus dapat menduduki kursi kepresidenan, tetapi juga terus menerus memperbesar dan mengakumulasi kekuasaan dengan legitimasi UUD 1945. Bahkan dibawah ketiak rezim orde baru, dengan jargon melaksanakan UUD 1945 (dengan Pancasila didalamnya) secara murni dan konsekwen menjadi alat ampuh untuk menakut-nakuti dan merepresi rakyat. Dari kenyataan ini, UUD 1945 adalah sebuah konstitusi yang betul-betul memihak dan menguntungkan posisi rezim yang berkuasa. Dapat disimpulkan kemudian, siapapun yang berkuasa dengan masih menggunakan UUD 1945 sebagai landasan konstitusionalnya pasti akan berperilaku sama, karena ia adalah tameng atau baju yang all size yang bisa disalahgunakan siapa saja.

3. Problem Amandemen UUD 1945

Sekalipun UUD 1945 telah mengalami dua kali perubahan (amandemen) yang dilakukan oleh MPR, namun perubahan itu mempunyai banyak problema. Problem ini dapat dilihat dari segi proses-nya yang sangat elitis, artinya hanya dilakukan dan ditentukan sendiri oleh MPR. MPR telah memonopoli seluruh proses sehingga rakyat tidak dapat mengetahui agenda perubahan yang sedang dilakukan apalagi ikut menentukan perubahan itu. Yang terjadi kemudian adalah menyebabkan proses perubahan itu menjadi tidak netral dan amat kental diwarnai kepentingan politik dari elit/fraksi politik yang menjadi unsur MPR. Dalam pengambilan keputusannya pun terjadi melalui lobby-lobby politik yang membuat proses itu menjadi tidak transparan.

Bias kepentingan politik itu, membatasi partisipasi publik termasuk pelibatan para ahli hanya menjadi formalitas belaka, karena pada akhirnya MPR dapat menolak atau mengobrak-abrik kembali usulan dan rumusan yang telah dibuat. Proses yang didominasi oleh MPR ini jelas tidak memberikan kesempatan kepada publik untuk dapat berpartisipasi secara maksimal. Dengan kata lain hak-hak politik dari rakyat untuk mengetahui dan turut menentukan telah dipenjara oleh MPR.

Dalam proses itu juga, MPR telah memutuskan bahwa dalam soal pembukaan, sistem pemerintahan presidensill dan negara kesatuan adalah sesuatu yang tidak boleh diubah. Keputusan untuk tidak mengubah ketiga hal tersebut secara politis memang terkesan telah menjadi kehendak mayoritas bangsa, namun keputusan itu tidak berangkat dari kenyataan disertai pemahaman dan penerimaan publik yang rasional. MPR terlalu tergesa-gesa menutup ruang publik yang hendak mempertanyakan kembali esensi dari ketiganya dan publik dipaksa untuk menerima sesuatu yang diluar kehendak dan pada kenyataannya adalah berbeda. Dengan “ditutupnya” ruang publik untuk dapat menerima ketiga hal tersebut secara obyektif dan rasional, maka kemungkinan akan tetap menimbulkan persoalan dikemudian hari. Ibaratnya seperti bom waktu yang setiap saat dapat meledak, tuntutan dan gugatan terhadap pembukaan, sistem presidensiil dan negara kesatuan akan tetap muncul kembali.

Akibat dari proses yang demikikan, dari segi substansi perubahan yang telah dihasilkan oleh MPR juga memiliki banyak kelemahan-kelemahan. Kelemahan yang memunculkan kontroversial dan kontradiksi rumusan pasal satu sama lain. Misalnya, dalam perumusan pasal-pasal soal HAM, adanya rumusan pasal 28I yang memuat azas non retroaktif, dianggap merupakan perlindungan bagi para pelanggar HAM. Disamping itu, rumusan perubahan tentang kekuasaan DPR (pasal 5, 13, 14, 20A, 22 A dan B) yang telah menguatkan peranan dan posisi DPR tidak diikuti dengan perubahan pada struktur dan kewenangan lembaga negara yang lain, terutama yang menyangkut soal MPR, Presiden dan Mahkamah Agung (MA). Perumusan ini secara tidak langsung menyebabkan kerancuan dalam mekanisme ketatanegaraan, karena tidak jelas bagaimana hak dan kewenangan masing-masing serta hubungan diantara lembaga-lembaga negara.

Dari hasil yang demikian, MPR hanya melakukan perubahan sepotong-potong tanpa melihat hakikat dan keterkaitan antara satu pasal dengan pasal yang lain secara komprehensif dan sistematis. MPR tidak mau/berani keluar dari kerangka UUD 1945 dan mendekontruksikan prinsip dan nilai UUD 1945 yang relevansinya saat ini sudah banyak dipersoalkan. Perubahan yang dilakukan MPR itu hanya tambal sulam saja sifatnya yang lebih banyak ditentukan sesuai dengan selera kepentingan politik. Perubahan yang tidak memiliki paradigma yang tidak mengkontruksikan secara utuh sistem nilai dan bangunan kenegaraan yang hendak dibentuk.

Perubahan yang tidak jelas arah dan proyeksi yang mau dituju, termasuk kapan penyelesaiannya. Dapat dikatakan MPR telah gagal melakukan perubahan konstitusi. Oleh karena itu, sudah selayaknya agenda konstitusi tidak bisa lagi hanya dilakukan dan ditentukan oleh MPR. Harus ditarik keluar melalui sebuah Komisi Konstitusi yang independen yang melibatkan partisipasi masyarakat secara penuh untuk turut membuat dan menentukan konstitusinya. Karena harus diingat MPR itu juga merupakan bagian yang harus diubah, termasuk fraksi/partai politik didalamnya.

4. Merupakan Kebutuhan Mendesak Untuk Mewujudkan Indonesia Baru.

Konstitusi merupakan undang-undang dasar bukan undang-undang biasa. Ia adalah pernyataan kehendak bersama rakyat, jika diibaratkan sebuah kontrak, ia adalah wujud kontrak sosial yang harus dibuat bersama antara warga negara dan negara. Ia harus berangkat dari jiwa atau spirit yang dapat dimengerti dan dipahami seluruh rakyat Indonesia. Pengalaman sejak BPUPKI/PPKI membuat UUD 1945 hingga Amandemen UUD 1945 oleh MPR tidak pernah dilakukan bersama rakyat. Namun hanya dibuat dan dimonopoli oleh segelintir orang dengan mengandalkan rasionalitas para ahli hukum dan segelintir elit politik saja yang kemudian tentunya dengan gampang memanipulasinya.

Oleh karena itu menyadari persoalan-persoalan yang masih ada dan akibat yang telah ditimbulkan oleh UUD 1945, kita sudah tidak bisa lagi memakai UUD 1945 sebagai landasan dalam kehidupan bernegara. Sekalipun telah ada perubahan-perubahan, tapi perubahan itu tidak bisa menghilangkan sifat kesementaraan dari UUD 1945. Begitu pula

dengan segala peraturan dibawahnya sudah tidak dapat lagi mengakomodir kebutuhan dan memecahkan kebuntuan persoalan sosial, politik, hukum serta ekonomi yang ada. Kita sudah terlalu lelah menyaksikan dan merasakan setiap gejolak sosial- politik yang muncul dalam setiap pergantian kekuasaan (baca: presiden). Kita mungkin sudah hampir tidak tahu lagi mana ujung atau pangkal untuk keluar dari krisis yang melilit dan membebani hingga kini.

Satu-satunya jalan yang bisa diharapkan adalah dengan melalui konstitusi baru. Konstitusi yang akan menggantikan UUD 1945 dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Konstitusi yang “tidak berdasarkan prinsip hanya mengatur hal-hal yang pokok”, tetapi konstitusi yang lengkap dan terinci yang akan mengatur soal HAM, hak dan kewenangan lembaga negara berikut mekanisme diantaranya secara jelas dan tegas. Konstitusi yang tidak multi tafsir yang akan melindungi pluralisme dan menjamin hak-hak warganya dari kesewenang-wenangan penguasa. Konstitusi yang akan mewujudkan good governance, berkeadilan gender serta memberikan perlindungan terhadap pelestarian lingkungan.

Konstitusi baru yang tidak akan memberikan peluang munculnya pemerintahan yang otoriter dan menguatnya dominasi dan represi militer terhadap masyarakat sipil. Konstitusi yang berpihak kepada rakyat (buruh, nelayan, tani, kaum miskin kota dll) dan memberikan peluang terhadap penguatan daerah. Konstitusi yang akan memberikan kepastian hukum yang akan mengakhiri sifat kesementaraan dan ketidakjelasan bernegara selama ini. Konstitusi yang netral yang tidak menampilkan satu generasi atau periode tertentu (misalnya ; 1945, 1966. 2000 dsb). Konstitusi yang dibuat dan ditentukan bersama rakyat melalui Komisi Konstitusi. Konstitusi yang mempunyai paradigma yang akan memproyeksikan Indonesia Baru yang lebih demokratis, tegaknya supremasi hukum, HAM dan kedaulatan rakyat, serta hapusnya dominasi militer.

C. Tujuan Konstitusi Baru

Adapun tujuan konstitusi baru itu sebagai sebuah keinginan dan kehendak yang ingin dicapai bersama adalah ;

1. Meletakkan dasar-dasar kehidupan bernegara yang lebih baik. Dalam hal ini ada aturan main yang jelas untuk menyelenggarakan kehidupan negara, baik mengenai hak dan kewenangan masing-masing lembaga maupun pertanggungjawabannya.

2. Merupakan kesepakatan baru antara seluruh rakyat untuk menentukan proyeksi Indonesia kedepan yang lebih demokratis.

3. Sebagai landasan bagi penyelenggaran negara yang bersih dan bertanggungjawab.

4. Sebagai sumber hukum tertinggi baru yang adil dan berkedaulatan rakyat.

D. Prinsip-Prinsip (paradigma) Konstitusi Baru

1. Kedaulatan rakyat dengan prinsip demokrasi partisipatoris. (terutama dalam sistem pemilu dan pemilihan presiden)

2. Jaminan, penghormatan, perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia.

3. Negara hukum dengan prinsip penegakan supremasi hukum yang adil, independen dan responsif.

4. Pembagiaan kekuasaan dengan prinsip keseimbangan kontrol (check and balances) yang jelas dan tegas.

5. Pemerintahan Daerah dengan prinsip desentralisasi dengan semangat penguatan basis lokal.

6. Pluralistik dengan semangat toleransi dan antidiskriminasi dan adil gender.

7. Keadilan pengelolaan sumber daya alam (ekologi) dengan mempertimbangkan kelestarian lingkungan.

BAB III

A. Kesimpulan

Secara formal, perubahan UUD 1945 sudah “selesai” dilakukan. Proses itu disebut “lompatan besar” oleh Pimpinan MPR dan sebagian kalangan parlemen. Kendati bagi kalangan lainnya, hasil dari proses itu disebut sebagai amandemen tanpa konstitusionalitas. Walaupun secara umum reformasi konstitusi ini dinilai kurang memuaskan, namun ada beberapa kemajuan, yaitu:

a. Kemajuan dalam substansi hasil amandemen, antara lain:

Tidak ada lagi anggota parlemen yang diangkat (Mekanisme pemilihan anggota DPR dan DPD dilakukan melalui pemilihan umum) Diakhirinya keberadaan perwakilan TNI/POLRI dalam parlemen Mekanisme pemilihan Presiden dan Wapres dilakukan dua putaran secara langsung oleh rakyat. Adanya pembatasan masa jabatan yang jelas untuk Presiden dan Wakil Presiden, yaitu 2 kali masa jabatan. Telah dimasukkannya beberapa pasal yang mengatur mengenai masalah HAM. Diakomodasinya pembentukan beberapa lembaga state auxiliary agencies (seperti: Mahkamah Konstitusi, KPU dan Komisi Judisial) Diberlakukannya otonomi daerah.

b. Semakin besar dan meluasnya dukungan terhadap ide pembentukan Komisi Konstitusi Independen dan Konstitusi Baru dari berbagai kalangan; seperti para pakar hukum tata negara dan pakar politik yang berasal dari sejumlah lembaga penelitian dan universitas di beberapa kota di Indonesia, dukungan dari media massa lokal maupun nasional serta sejumlah organisasi massa, kelompok strategis dan tokoh masyarakat lainnya. Tapi ditinjau secara eseluruhan, proses dan seluruh materi-materi di dalam amendemen pertama hingga keempat jelas masih memiliki banyak kelemahan-kelemahan. MPR telah gagal dalam melakukan mandemen UUD 1945. Dalam Sidang Tahunan 2002, tekanan publik telah mendorong MPR untuk menerbitkan TAP No. 1/ MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi walaupun bentuknya masih sangat jauh dari harapan.

B. Saran

Satu hal yang harus digarisbawahi dari hal ini adalah bahwa pada dasarnya MPR merupakan bagian dari masalah yang harus diselesaikan dalam Konstitusi, sehingga apa yang merupakan bagian masalah tidak bisa diharapkan untuk memecahkan masalah itu sendiri. Proses perubahan Konstitusi itu seharusnya tidak dilakukan dan ditentukan sendiri oleh MPR, tapi harus diserahkan kepada Komisi Konstitusi yang Independen. Komisi ini pun tidak lagi melakukan amandemen, tetapi membuat suatu rumusan Konstitusi Baru untuk masa depan Indonesia yang demokratis. Oleh karena itu sulit untuk mengharapkan Komisi Konstitusi yang sekarang telah dibentuk oleh MPR untuk dapat merancang suatu Konstitusi Baru yang aspiratif terhadap kepentingan konsolidasi demokrasi di Indonesia apabila masih berada di bawah wewenang MPR. Oleh karena itu gerakan membentuk Konstitusi Baru harus diperbaharui terutama setelah Pemilu 2004 untuk memberi landasan yang lebih kokoh terhadap upaya pembaharuan paket undang-undang politik serta undang-undang lain yang krusial terhadap konslidasi demokrasi di Indonesia. Apabila hal ini tidak tercapai maka ada peluang bahwa pencapaian yang telah diraih selama lima tahun terakhir dapat dicairkan kembali dengan amandemen dan perubahan terhadap undang-undang yang belum tentu mengarah pada perundang-undangan yang lebih demokratis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar